ABSTRAK
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin
dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang
silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa.
Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak
hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari
pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam
komunikasi (Leech, 1993: 1). Leech (1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai
studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech
situasions).
Pragmatik sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling tidak dapat diedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, (2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian pertama masih dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa atau disebut ‘fungsi komunikatif’ (Purwo, 1990:2).
Pragmatik ialah berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993: 177). Menurut Levinson (1983: 9), ilmu pragmatik didefinisikan sebagai berikut:
Pragmatik sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling tidak dapat diedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, (2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian pertama masih dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa atau disebut ‘fungsi komunikatif’ (Purwo, 1990:2).
Pragmatik ialah berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993: 177). Menurut Levinson (1983: 9), ilmu pragmatik didefinisikan sebagai berikut:
(1)
“Pragmatik ialah
kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan
pengertian bahasa”. Di sini, “pengertian/pemahaman bahasa” menghunjuk kepada
fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga
pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya
dengan konteks pemakaiannya.
(2)
“Pragmatik ialah
kajian tentang kemampuan pemakai bahsa mengaitkan kalimat-kalimat dengan
konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu”.
(Nababan, 1987: 2)
(Nababan, 1987: 2)
Pragmatik juga diartikan sebagai syarat-syarat yang
mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek
pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada
makna ujaran (Kridalaksana, 1993: 177). Menurut Verhaar (1996: 14), pragmatik
merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk
struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan
sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang
dibicarakan.
Kata Kunci : Pragmatik,
Kesantunan, Parameter
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan
keharibaan Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberi karunia berupa kemudahan
berpikir sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Parameter
Pragmatik sesuai dengan yang diharapakan.
Makalah ini berisi informasi tentang
Pragmatik yang dikhususkan untuk membahas Parameter Pragmatik. Tentang
pengertian Parameter Pragmatik dan Jenis-Jenis Skala Kesantunan menurut para
ahli Parameter Pragmatik.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan
informasi kepada kita semua tentang Parameter Pragmatik. Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari
awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Amin.
Lubuklinggau, 2 Maret 2013
PENULIS
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
...................................................................................................
|
i
|
|||
ABSTRAK .....................................................................................................................
|
ii
|
|||
KATA PENGANTAR
....................................................................................................
|
iv
|
|||
DAFTAR ISI
...................................................................................................................
|
v
|
|||
BAB I.
|
PENDAHULUAN
.......................................................................................
|
1
|
||
|
A.
|
Latar Belakang
......................................................................................
|
1
|
|
|
B.
|
Rumusan Masalah
.................................................................................
|
2
|
|
|
C.
|
Tujuan Penulisan Makalah
...................................................................
|
2
|
|
|
D.
|
Manfaat
.................................................................................................
|
3
|
|
BAB II.
|
PEMBAHASAN
.........................................................................................
|
4
|
||
|
A.
|
Pengertian Parameter Pragmatik
..........................................................
|
4
|
|
|
B.
|
Skala Kesantunan
.................................................................................
|
5
|
|
|
|
1.
|
Skala Kesantunan Leech ................................................................
|
5
|
|
|
2.
|
Skala Kesantunan Brown dan Levinson
........................................
|
7
|
|
|
3.
|
Skala Kesantunan Robin Lakoff
....................................................
|
9
|
|
C.
|
Teori Muka oleh Goffman, Brown, dan Levinson
...............................
|
10
|
|
|
|
1.
|
Muka Positif (Positive
Face)..........................................................
|
12
|
|
|
2.
|
Muka Negatif (Negative
Face).......................................................
|
13
|
|
|
3.
|
Pengancaman Muka (Face Treathening Act).................................
|
15
|
BAB III.
|
PENUTUP
...................................................................................................
|
17
|
||
|
Kesimpulan
..................................................................................................
|
17
|
||
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................
|
18
|
BAB I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbahasa adalah aktivitas sosial. Karenanya
kegiatan berbahasa baru terwujud bila melibatkan manusia. Menurut Wijana
(1996:45), “Di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari
bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan
interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.”
Allan (dalam Wijana:1996:45) menambahkan bahwa,
“Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan
penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual.”
Dalam berbicara, tidak selamanya berkaitan dengan
masalah yang bersifat tekstual. Tetapi seringkali pula berhubungan dengan
persoalan yang bersifat interpersonal.
Bila sebagai retorika tekstual, pragmatik
membutuhkan prinsip kerjasama (cooperative principle). Dalam komunikasi yang
wajar, seorang penutur mengartikulasikan ujaran untuk mengomunikasikan sesuatu
kepada lawan bicara dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang
disampaikan.
Pertuturan yang wajar terbentuk karena penutur dan
lawan tutur melakukan kerjasama. Setiap peserta pertuturan sama-sama menyadari
bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya dan
interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.
Lebih tegas lagi, dipaparkan Wijana (1996:46) bahwa
ada semacam prinsip kerjasama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara
agar proses komunikasi itu berjalan lancar.
Sementara sebagai retorika personal, menurut Wijaya
(1996:55), pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan. Prinsip ini, berkaitan
dengan diri sendiri dan orang lain. Penutur harus menyusun tuturannya
sedemikian rupa agar lawan tuturnya sebagai individu merasa diperlakukan secara
santun.
Prinsip kesopanan diterapkan dalam tindak tutur
sesuai beberapa indikator. Karenanya, diperlukan strategi pemilihan tingkat
kesopanan yang berbeda-beda. Inilah yang disebut dengan parameter pragmatik.
Wijana (1996:63) memberikan contoh bahwa dalam memerintah pembantu, tuturan
yang dipilih adalah Sapulah lantai ini, meskipun dinilai kurang sopan dibanding
Apakah Anda bersedia menyapu lantai ini?
Berdasarkan hal-hal di atas, dalam makalah ini
penulis mencoba membahas persoalan yang berkaitan parameter pragmatik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengertian
Parameter Pragmatik?
2.
Bagaimana Skala
Kesantunan Menurut Para Ahli?
3.
Bagaimana Teori Muka
Menurut Para Ahli?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah
pengetahuan dan referensi tentang Parameter Pragmatik bagi penulis maupun
pembaca. Dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Pragmatik.
D.
Manfaat
1.
Manfaat Teoritis
Menambah
pengetahuan dan referensi tentang Parameter Pragmatik
2.
Manfaat Bagi
Pembaca dan Penulis
BAB II.
PEMBAHASAN
A. Pangertian
Parameter Pragmatik
Semakin panjang bentuk tuturan semakin besar pula
keinginan penutur untuk berlaku sopan kepada lawan tuturnya. Hal-hal yang yang
mengatur strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang
berbeda ini disebut parameter pragmatik.
Parameter ialah garis-garis yang menentukan atau
menandakan keluasan atau batasan sesuatu, keluasan yang ada batasan-batasannya.
Contoh kalau ditinjau secara objektif, parameter kesetiaan seseorang berkisar
dalam ruang bulatan yang berlegar dan bertindih; watak-watak didalamnya
bertingkah laku secara konkrit dalam lingkungan.
Kesopanan adalah amalan tingkah laku yang mematuhi
peraturan-peraturan sosial yang terdapat dalam sesebuah masyarakat. Seseorang
yang tidak mematuhi peraturan-peraturan soaial ini dianggap tidak sopan.
Perilaku yang menonjolkan ketidaksopanan lebih merujuk kepada perilaku
seseorang yang ditonjolkan secara personal yang boleh menimbulkan suasana
konflik dan ketegangan yang lebih besar. Dengan kata lain setiap orang harus
bertindak dengan penuh kesopanan antara satu dengan lainnya berdasarkan norma
kesopanan dalam sesebuah masyarakat.
Parameter pragmatik harus diamati secara cermat agar
lawan tutur tidak merasa kehilangan muka (face). Menurut Goffman
(Wardaugh, 1986, 284; Allan, 1986, 10) dalam percakapan yang kooperatif para
peserta percakapan menerima ‘muka’ yang ditawarkan oleh lawan bicaranya. Adapun
yang dimaksud dengan ‘muka’ dalam hal ini adalah citra diri yang harus
diperhatikan oleh lawan tutur. ‘Muka’ yang ditawarkan itu berbeda-beda
bergantung pada situasi pembicaraan. Muka yang ditawarkan penutur memiliki dua
kemungkinan, yakni muka positif dan muka negatif. Muka positif terwujud bila
ide-ide, atribut, milik, prestasi, tujuan, dan
sebagainya. Yang dimiliki
oleh seseorang dihargai oleh lawan tuturnya. Muka negatif adalah keinginan
seseorang untuk tidak diserang, diejek, atau dihinakan oleh lawan tuturnya. Dalam konteks pemakaian bahasa dua aspek ini dapat
menimbulkan sesuatu yang tidak mengenakkan bila pemuasan salah satu aspek
mengandung pelanggaran terhadap yang lain.
B. Skala
Kesantunan
Terdapat tiga skala pengukur peringkat
kesantunan berbahasa yang sampai kini masih banyak digunakan sebagai dasar
acuan penelitian kesantunan berbahasa dengan kerangka linguistik pragmatik.
Skala kesantuan tersebut adalah:
1. Skala Kesantunan Leech
Dalam model kesantunan Geoffrey N. Leech (1993), dijelaskan bahwa setiap
maksim interpersonal di dalam kerangka pragmatik dapat
dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan dari sebuah tuturan.
a. Cost-benefit
scale atau skala kerugian-keuntungan. Skala kesantutan berbahasa ini menunjuk
kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah
tindak tutur di dalam peristiwa pertuturan tertentu. Semakin dampak dari sebuah
tuturan tersebut merugikan bagi diri si penuturnya sendiri, maka cenderung akan
semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan
tersebut menguntungkan bagi diri penuturnya sendiri dan merugikan bagi sang
mitra tuturnya, akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu.
b. Optionality
scale atau skala pilihan. Skala kesantunan ini menunjuk kepada banyak
atau sedikitnya alternative pilihan (options) yang disampaikan si penutur
kepada mitra tutur dalam praktik bertutur yang sebenarnya. Semakin pertuturan
memungkinkan si penutur atau mitra tutur itu menentukan pilihan yang banyak dan
leluasa, akan semakin dianggap santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya apabila
pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan untuk menentukan
pilihan bagi penutur dan mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap
sangat tidak santun.
c. Indirectness
scale atau skala ketidaklangsungan. Skala kesantunan berbahasa ini
menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud dari sebuah
tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung, to the point,
apa adanya, tidak berbelit-belit, tidak banyak basa-basi, akan cenderung
dianggap semakin tidak santunlah tuturan yang demikian itu. Demikian juga
sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, semakin banyak
sasmita, sanepo, samudana dan isyarat yang dikandung di dalamnya, akan dianggap
semakin santunlah tuturan tersebut.
d. Authority scale atau skala keotoritasan atau
skala kekuasaan. Skala kesantunan berbahasa ini menunjuk kepada hubungan status
sosial antara si penutur dan si mitra tutur yang terlibat di dalam proses
pertuturan tertentu. Ditegaskan dalam skala kesantunan berbahasa ini, bahwa
semakin jauh distansi atau jarak peringkat sosial (rank rating) antara
si penutur dengan si mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi
semakin sopan dan kian santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status
sosial diantara kedua belah pihak tersebut dalam bertutur, akan cenderung
berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan itu dalam keseluruhan
aktivitas bertutur itu.
e. Social distance
scale atau skala jarak sosial. Skala kesantunan ini menunjuk kepada peringkat
hubungan sosial antara si penutur dan mitra tutur yang terlibat di dalam
pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial
diantara keduanya, akan menjadi semakin berkurang santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan
mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan
orang-orang yang belum benar-benar dekat dan akrab, orang sudah sangat sering
menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang cenderung informal dan cenderung
akrab. Maka lalu yang muncul adalah tuturan-tuturan yang dipandang tidak sopan
dan kurang santun, penuturnya juga akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu
sopan santun sama sekali.
2. Skala Kesantunan Brown
Dan Levinson
Model kesantunan
berbahasa dari Brown dan Levinson (1987) terdapat tiga skala penentu tinggi
rendahnya peringkat kesantunan berbahasa yang muncul di dalam sebuah pertuturan
sebenarnya. Ketiga skala tersebut adalah :
a. Skala peringkat
jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker
and hearer) skala ini banyak ditentukan oleh parameter perbedaan di dalam
hal umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural seseorang. Berkenaan
dengan perbedaan umur antara si penutur dan mitra tutur itu, lazimnya
didapatkan kenyataan bahwa semakin tua umur seseorang peringkat kesantunan
dalam bertuturnya akan menjadi semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya. Orang
yang berjenis kelamin wanita, lazimnya juga memiliki peringkat kesantunan yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria atau
laki-laki. Latar belakang sosiokultural seseorang memiliki peran yang sangat
besar dalam menentukan peringkat kesantunan yang dimilikinya. Orang yang
memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat cenderung memiliki peringkat kesantunan
lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang.
b. Skala peringkat
status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer
relative power) atau sering kali disebut juga dengan peringkat kekuatan
atau kekuasaan (power rating). Skala pengukuran kesantunan ini
didasarkan pada kedudukan asimetrik antara si penutur dan si mitra tutur.
c. Skala peringkat tindak tutur atau tindak ujar, atau sering
pula disebut dengan rank rating. Skala kesantunan berbahasa
itu lengkapnya berbunyi, the degree of imposition associated with the
required expenditure of goods or services didasarkan atas kedudukan
relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya di dalam sebuah
praktik pertuturan yang sesungguhnya. Sebagai contohnya, di dalam situasi yang
sangat khusus, bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu
bertamu yang wajar, akan dikatakan sebagai orang yang tidak tahu sopan santun
dan bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat tutur
tertentu. Namun demikian, hal yang sesungguhnya persis sama akan dapat dianggap
sangat wajar terjadi di dalam situasi yang tidak sama. Misalnya saja, pada saat
di suatu kota terjadi kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung dan kompleks
perumahan, bisa saja orang berada di rumah orang lain atau rumah tetangganya
bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan, dia tetap akan dianggap sopan,
bahkan ketika dia menjerit-jerit karena ketakutan sekalipun.
3. Skala Kesantunan Robin Lakoff
Robin Lakoff
(1973) menyatakan adanya tiga ketentuan pokok untuk dapat dipenuhinya skala
kesantuan di dalam kegiatan bertutur di dalam masyarakat. Ketiga ketentuan itu
secara berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut : (1) skala formalitas (formality
scale), (2) skala ketidaktegasan (besitancy scale), dan
(3) skala kesamaan atau kesekawanan (equality scale). Berikut
uraian dari setiap skala kesantunan tersebut satu demi satu.
a. Skala
formalitas (formality scale), dinyatakan bahwa agar para peserta
tutur dapat merasa benar-benar nyaman dan sungguh kerasan di dalam keseluruhan
proses kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa
dan tidak boleh berkesan angkuh atau congkak terhadap pihak lainnya. Di dalam
kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga
keformalitasan dan mampu menjaga jarak yang sewajarnya dan senatural-naturalnya
antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Tanpa memperhatikan hal tersebut,
tuturan yang muncul dipastikan tidak akan memenuhi standar kesantunan berbahasa
yang berlaku di dalam masyarakat tuturnya.
b. Skala kesantunan Robin Lakoff yang kedua,
yakni skala ketidaktegasan atau keraguan (besitancy scale) atau
sering kali disebut juga dengan pilihan (optionality scale),
menunjukan bahwa agar si penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dan
tetap kerasan di dalam aktivitas bertutur sapa, pilihan-pilihan dalam bertutur
itu harus selalu diberikan oleh kedua belah pihak secara benar-benar memadai
dan proporsional. Dalam hal ini, orang tidak diperbolehkan untuk bersikap
terlalu tegang dan teramat kaku di dalam aktivitas bertutur yang sesungguhnya,
karena akan dianggap sebagai orang yang tidak santun di dalam masyarakat
bahasanya.
c. Skala kesantunan dari Robin Lakoff yang
ketiga, yakni peringkat kesekawanan atau kesamaan, menunjukan bahwa agar dapat
berciri sopan santun, orang harus senantiasa ramah dan selalu mempertahankan
persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Agar dapat
tercapai maksud yang demikian itu, penutur harus dapat menganggap sang mitra
tutur benar-benar sebagai teman atau sahabat bagi dirinya. Dengan menganggap
pihak yang satu sebagai sahabat bagi dirinya. Dengan menganggap pihak yang satu
sebagai sahabat bagi piak lainnya, rasa kesekawanan, rasa solider, dan rasa
kesejajaran sebagai salah satu prasyarat hadirnya kesopanan atau kesantunan
akan dapat tercapai dengan benar-benar baik. Sayang bahwa yang umumnya terjadi
pada masyarakat, rasa kesejajaran atau kesederajadan ini telah banyak melemah
atau bahkan meluntur. Denga begitu pula, kesantunan yang ada di dalam
masyarakat itu juga semakin rendah peringkat atau kadarnya. Inilah
keprihatinan, yang barangkali perlu segera, mendapat tanggapan dari setiap
warga masyarakat Indonesia, agar kita-kita ini tidak tercerabut dari budaya kita
sendiri.
C. Teori Muka oleh
Goffman, Brown, dan Levinson
Menurut Brown
dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967), bahwasanya
bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “Muka” atau “muka,” baik milik
penutur, maupun milik mitra tutur. “Muka,” dalam hal, ini bukan dalam arti rupa
fisik, namun “Muka” dalam artian public image, atau mungkin padanan
kata yang tepat adalah “harga diri” dalam pandangan masyarakat.
Konsep Muka ini
berakar dari konsep tradisional di Cina, yang dikembangkan oleh Konfusiusterkait
dengan nilai-nilai kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada Muka, dalam tradisi Cina,
melekat atribut sosial yang merupakan harga diri, sebuah penghargaan yang
diberikan oleh masyarakat, atau dimiliki secara individu. Muka, merupakan
“pinjaman masyarakat,” sebagaimana sebuah gelar akademik yang diberikan oleh
sebuah perguruan tinggi, yang kapan saja bisa ditarik oleh yang memberi. Oleh
karena itu, si pemilik Muka itu haruslah berhati-hati dalam berprilaku,
termasuk dalam berbahasa.
Jika Goffman
(1967) menyebutkan bahwa Muka adalah atribut sosial, maka Brown dan Levinson
(1987) menyebutkan bahwa Muka merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh
setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, Muka kemudian dipilah
menjadi dua jenis: Muka dengan keinginan positif (positive face), dan Muka
dengan keinginan negatif (negative face). Muka positif terkait dengan nilai
solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan. Sementara itu, Muka
negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari
gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya
itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa Muka memiliki nilai seperti yang telah
disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya
adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai Muka
itu.
Kesantunan itu
sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki arti
menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti
berbahasa (atau berprilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur
dan mitra tutur. Konsep Muka di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan
kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa
mungkin berakibat santun, artinya, sopan berbahasa akan memelihara Muka jika
penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh (misalnya antara dosen
dan mahasiswa, atau anak dan ayah). Meskipun demikian, bersikap santun dalam
berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika penutur dan
mitra tutur tidak memiliki jarak sosial yang jauh (teman sekerja, konco, pacar,
dan sebagainya). Untuk lebih memahami konsep Muka ini, berikut akan saya
suguhkan contoh-contoh, baik Muka positif maupun negatif, dalam konsep
kesantunan berbahasa.
1. Muka Positif (Positive Face)
Sebagaimana telah
disebutkan bahwa Muka positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara
penutur dan mitra tutur. Perhatikan contoh percakapan dua orang sopir angkot
berikut ini (mohon maaf jika contoh ini mengandung kata-kata kasar):
Sopir A: Mus,
ngana so dapa kabar mengenai ngana pe STNK yang polisi tahan tuh? (Mus,
apakah kamu sudah mendapatkan kabar mengenai STNK kamu yang ditahan polisi
itu?)
Sopir B: E…
pamabo, sejak kapan ngana faduli kita pe hal? Bolong ini, tara tau dong so
bakar ka apa itu… (eh.. pemabuk, sejak kapan kamu peduli persoalanku?
Belum nih, tidak tahu mungkin mereka sudah bakar…)
Sopir A: Ce me
itu lucur kasana doi barang 150 la dorang urus sudah… (Ah… kasih saja
uang 150 biar mereka urus secepatnya…)
Sopir B: Ya
astaga… ngana kira polisi itu ngana pe papa mantu? Kita so coba tapi dorang
tara mau. (Astaga, kamu pikir polisi itu mertua kamu? Sudah aku coba, tapi
mereka tidak mau).
Sejenak jika dilihat,
percakapan singkat antara dua sopir angkot ini terkesan kasar, tidak sopan.
Mungkin sebagian berpendapat bahwa wajar mereka berkomunikasi seperti ini,
dengan alasan bahwa mereka adalah teman dekat, dan mungkin berpendidikan
rendah. Tidak ada yang salah dengan pendapat-pendapat ini. Dari aspek
kesopanan, cara mereka berkomunikasi memang ganjil; tetapi dari aspek
kesantunan, melalui konsep Muka positif, cara berkomunikasi ini adalah untuk
memelihara Muka masing-masing.
Tuturan sopir B
memiliki muatan positif agar jarak keakraban antara mereka (sopir A dan sopir
B) terjaga. Tuturan sopir B, dengan mengatakan “pemabuk” adalah untuk
menunjukan kedekatan jarak sosial, rasa kekoncoan (camaraderie), sehingga
secara psikologis tidak ada jarak pula. Kedekatan jarak sosial yang direfleksi
oleh penggunaan bahasa semacam di atas memiliki nilai Muka positif. Seandainya
sopir B merespon pertanyaan sopir A dengan irama sopan semacam “belum ada kabar
pak…” maka tentu saja jarak sosial antara mereka menjadi renggang, dan Muka
mereka terancam.
Maksud dari mengancam Muka
(face threatening) adalah mengancam jatidiri sebagai sahabat dekat, konco, dan
sebagainya. Isu sentral dari mengancam Muka adalah kerenggangan jarak sosial
yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa yang relatif tidak santun, atau tidak
memenuhi kaidah-kaidah konsep Muka positif. Mengenai pengancaman Muka (face
threatening act) ini akan diulas kemudian.
2. Muka Negatif (Negative Face)
Berbeda dengan Muka
positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan terjaganya nilai-nilai
keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka Muka negatif ini dimana penutur dan
mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Perhatikan contoh percakapan
antara dua orang penumpang angkot yang tidak saling kenal antara satu sama lain
di bawah ini:
Penumpang A: Maaf
e, tanya sadiki, Sasa tu masih jao ka? (maaf yah, numpang tanya,
apakah Sasa masih jauh dari sini?)
Penumpang B: Wadoh
mas, ini skarang so sampe di Kastela. Memangnya mas mo turun dimana kong? (Wah
mas, ini sekarang sudah sampai di Kastela. Memangnya mas mau turun dimana?)
Penumpang A: Saya
tadi bilang di sopir turun di Sasa, maaf nih, jadi Sasa masih jao ka? (Saya
tadi bilang ke sopir kalau saya mau turun di Sasa, maaf, jadi apakah Sasa masih
jauh?)
Penumpang B: Bukannya
masih jao mas, tapi so lewat jao. Mangkali lebe bae mas turun disini saja,
nanti baru nae oto dari bawa saja, nanti bilang turun di Sasa. (Bukannya
masih jauh mas, tapi sudah kelewat jauh. Mungkin lebih baik mas turun disini
saja, nanti naik angkot lagi dari selatan, nanti bilang turun di Sasa).
Penumpang A: Wah,
tarima kasih e? (waduh, terima kasih yah?)
Penumpang B: Sama-sama
mas (terima kasih kembali mas).
Sangat terlihat jelas
bahwa kedua partisipan (penutur dan mitra tutur) dalam percakapan ini
menunjukkan ketidakakraban, atau keformalan. Ini bisa dilihat dari penggunaan
kata “maaf” yang diulang sebanyak dua kali oleh penumpang A. Penggunaan dan
pengulangan penggunaan kata “maaf” oleh penumpang A ini untuk menjaga Muka
negatif penumpang B. Artinya, penumpang A tidak ingin terkesan akrab dan sesuka
hati, dan tidak ingin mengganggu wilayah individu penumpang B.
Demikian pula dengan
penggunaan kata “mas” yang berulang-ulang oleh penumpang B, yang merupakan
sapaan sopan untuk penumpang A yang dicurigai sebagai pendatang, bukan
masyarakat asli. Dengan menggunakan dan mengulang kata “mas”, penumpang B
berusaha untuk menunjukkan bahwa dia menghargai jatidiri penumpang A sebagai
individu yang dihargai atribut individualnya, termasuk sebagai pendatang dan
bukan masyarakat asli.
Melalui dua contoh yang
menjelaskan dua konsep Muka di atas, jelaslah bahwa dalam berbahasa, kita harus
senantiasa mempertimbangkan jarak sosial antara kita dan mitra tutur.
Kesantunan berbahasa bukan terletak pada diksi, melainkan terletak pada tingkat
keakraban atau jarak sosial, termasuk usia, gender, strata sosial, dan strata
akademik.
3. Pengancaman Muka (Face Threatening Act)
Sebagaimana telah
dijelaskan dengan berbagai contoh, kesantunan (dan kesopanan) berbahasa dapat
diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap Muka orang lain
(Yule, 2006:104). Muka seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur
menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu
yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri (hal.106).
Pengancaman Muka
melalui tindak tutur (speech act) akan terjadi jikalau penutur dan mitra tutur
sama-sama tidak berbahasa sesuai dengan jarak sosial. Perhatikan contoh berikut
ini, dimana terjadi interaksi antara tetangga yang berusia sudah tua dan yang
masih muda:
Tua: He… so
malam deng apa kong baribut sampe, tarada rumah ka? (Heh… ini kan
sudah malam, kok ribut banget? Tidak ada rumah ya?)
Muda: Saya, om.
Maaf lagi… (Saya, om. Kami minta maaf).
Dalam konteks interaksi
seperti di atas, penutur tua melakukan pengancaman Muka dengan mengatakan
“tidak ada rumah ya?” ini disebut pengancaman Muka karena jarak sosial (usia
dan mungkin juga jarak keakraban) antara mereka jauh. Bahkan, hal ini bukan
hanya mengancam Muka mitra tutur muda, bahkan Muka penutur tua itu sendiri. Hal
ini disebabkan oleh jatuhnya “harga diri” sosial dengan menggunakan pernyataan
yang kasar.
Respon dari mitra tutur
muda merupakan tindak penyelamatan Muka (face saving act); yaitu dengan cara
melakukan kesantunan negatif dengan mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan
kesadaran atas jarak sosial dan Muka negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur
muda menyadari keinginan Muka penutur tua untuk merdeka dan memiliki hak untuk
tidak terganggu.
Pengancaman terhadap Muka
ini juga bersifat positif dan juga negatif. Jika penutur dan mitra tutur
memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman Muka bersifat negatif. Sementara itu,
jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh, maka pengancaman Muka
bersifat positif.
Intinya, Muka positif
adalah keinginan partisipan untuk diterima oleh mitra tutur sebagaimana
kedekatan sosial antara mereka; Muka negatif adalah keinginan untuk bebas dari
interfensi, tekanan, atau gangguan dari pihak lain, termasuk mitra tutur. Jika
keinginan Muka positif tidak tercapai dalam bertutur, maka ancamannya pada Muka
positif. Dan jika keinginan Muka negatif tidak tercapai, maka ancamannya pada Muka
negatif. Konsekuensi logis dari ancaman Muka ini adalah kehilangan Muka
(loosing face), atau dengan istilah sederhana adalah malu atau hilang harga
diri.
BAB III.
PENUTUP
Kesimpulan
Parameter Pragmatik (Kesantunan)
merupakan hal-hal yang yang mengatur strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki
tingkat kesopanan yang berbeda. Dalam
parameter pragmatik terdapat skala-skala kesantunan, antara lain :
1.
Skala Kesantunan
Leech
a.
Skala
kerugian-keuntungan
b.
Skala Pilihan
c.
Skala
Ketidaklangsungan
d.
Skala
Keotoritasan
e.
Skala Jarak
Sosial
2.
Skala Kesantunan
Brown dan Levinson
a.
Skala Peringkat
Jarak Sosial
b.
Skala Peringkat
Status Sosial
c.
Skala Peringkat
Tindak Tutur
3.
Skala Kesantunan
Robin Lakoff
a.
Skala Formalitas
b.
Skala
Ketidaktegasan
c.
Skala Peringkat
Tindak Tutur
Dalam parameter pragmatik juga terdapat teori Muka
yaitu antara lain : Muka Positif, Muka Negatif, dan Pengancaman Muka. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa parameter pragmatik memberikan batasan tentang
kesantunan berbahasa, apakah bahasa itu santun atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. 2003.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan
III edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.
Aziz, E. A.
(2000). Refusing in Indonesian: Strategies and Politeness Implications.
Disertasi, Australia: Monash University.
Aziz, E. A.
(2008). Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang
Terserak, Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Indonesia: Universitas Pendidikan Indonesia.
Brown, P & S.C.
Levinson. (1987). Universals in Language Usage: Politeness Phenomena. In
E.N. Goody (ed). Questions
and Politeness: Strategies in social interaction, 56-289. Cambridge:
Cambridge University Press.
Grice, HP. 1975. “Logic and Conversation”. Syntac and
Semantics, Speech Act 3. New York: Academnic Press.
Goffman, E.
(1967). Interaction Ritual. Garden City, NY: Doubleday.
Http://citraindonesiaku.blogspot.com/2012/02/parameter-pragmatik.html
Http://zainurrahmans.wordpress.com/2011/02/27/teori-kesantunan-berbahasa/
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Rohmadi, Muhammad.
2004. Pragmatik: Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar
Media.
Thomas, J.
(1995). Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics.
London: Longman.
Wijana, I Dewa Putu.
1996. Dasar-Dasar Pragmatik.
Yogyakarta: Andi.
Yule, G. (2008). Pragmatik.
Indonesia: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar