Jumat, 05 April 2013

Peta Konsep Strategi Belajar Mengajar Bab I dan II




A.             Pengertian Strategi Belajar Mengajar
Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah tentukan.Jadi strategi belajar mengajar bisa di artikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah di gariskan.

B.             Sasaran Kegiatan Belajar Mengajar
Sasaran atau tujuan bermacam-macam yakni: Tujuan intruksional khusus,tujuan intruksional umum,tujuan kurikuler,tujuan nasional,sampai tujuan yang bersifat universal.Saaran itu harus di terjemahkan ke kepada ciri-ciri prilaku yang didambakan.Tujuan universal ,manusia yang diidamkan memliki kualifikasi:a) pengembangan bakat secara optimal, b) hubungan antr manusia, c)efesiensi ekonomi, d)tanggung jawab selaku warga negara.



C.             Sistem dalam Kegiatan Belajar Mengajar
Belajar mengajar sebagai suatu sistem intruksional mengacu kepada pengertian sebagai seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan.Selaku suatu sistem, belajar mengajar meliputi suatu komponen,antara lain tujuan, bahan, siswa, guru, metode, situasi, dan evaluasi.Agar tujuan tercapai,semuakomponen yang ada harus di organisasikan sehingga antar suatu komponen terjadi kerja sama.dan guru harus memperhatikan keseluruhan komponen.
Berbagai persoalan yang biasa di hadapi oleh guru antara lain:
a.      Tujuan-tujuan apa yang mau di capai
b.      Materi pelajaran apa yang di perlukan
c.       Metode,alat mana yang di perlukan
d.      Prosedur pa yang harus di tempuh untuk melakukan sesuatu.

D.            Pola-Pola Belajar Siswa
Robert M. Gagne membedakan pola-pola belajar siswa ke dalam delapan tipe , yaitu antara lain:
a.       Belajar tipe 1 : signal learning (belajar isyarat)
Belajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Jadi tidak menuntut persyaratan, namun merupakan hieraraki yang harusdi lalui untuk tipe belajar yang paling tinggi. Kondisi yang di perlukan buat berlangsungnya tipe belajar ini, adalah di berikannya sitimulus (signal)secara serempak, perangsang-perangsag tertentu secara berulang kali.Contoh:Aba-aba SIAP ! merupakan suatu signal atau isyarat untuk mengambil sikap tertentu.

b.       Belajar tipe 2 : Stimulus – Respons learning (Belajar Sitimulus Respons)
Pada proses belajar ini sama dengan proses belajar bahasa pada anak-anak.Dengan belajar sitimulus –respons sitimulus ini seorang mengatakan kata-kata dalam bahasa asing. Demikian pula seorang bayi belajar mengatakan “mama”

c.       Belajar tipe 3 : Chain (rantai atau rangkaian)
Chaining adalah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R(Stimulus-Respons) yang satu dengan yang lain.Contoh: kampung-halaman, makan malam.

d.       Belajar tipe 4 : Verbal Assiociation (Asosiasi Verbal)
Baik chaining maupun verbal assiociation, kedua tipe belajar ini setaraf, yaitu belajar menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan yang lain. Contoh:mengatakan”itu bola saya”mengenal ‘bola’,’saya’,dan’itu’.Hubungan itu terbentuk, bila unser-unsurnya terdapat dalam urutan-urutan tertentu tertentu,yang satu segeramengikuti yang satu lagi(contiguity).

e.       Belajar tipe 5 : Discrimation learning (Belajar Diskriminasi)
Discrimation learning atau belajar mengadakan pembeda.Kondisi utama bagi proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R). Contoh:Anak dapat mengenal berbagai merek mobil beserta namanya, walaupun tampaknya mobil itu tampak bersamaan.

f.       Belajar Tipe 6 : Concept learning (Belajar Konsept)
Concept learning adalah belajar pengertian.Dengan berdasarkan. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan situmulus dan objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep,kondisi utama yang di perlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan prosese kognitif fundamentalistal sebelumnya.

g.       Belajar tipe 7 : Rule lerning (Belajar Aturan)
Rule learning belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini siswa belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoprasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif, deduktif, analisis, sistesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, kausalitas) sehingga anak didik dapat menemukan konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dapat di pandang sebagai “rule”:prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah, dan sebagainya.

h.       Belajar Tipe 8 : Problem Solving(Pemecahan Masalah)
Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini para didik belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi 
problematik, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah di kuasainya.





 A.             Hakikat Belajar Mengajar
Belajar adalah proses perubahan prilaku berkat pengalaman dan latihan.Artinya,tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku,baik yang menyangkut pengetahuan,keterampilan maupun sikap,bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi. Jadi, hakikat belajar adalah perubahan.

B.             Ciri-Ciri Belajar Mengajar
Sebagai suatu proses pengaturan, kegiatan belajar mengajar tidak terlepas dari ciri-ciri tertentu, yang menurut Edi Suardi sebagai beirkut :
1.       Belajar mengajar memiliki tujuan , yakni untuk  membentuk anak didik dalam  suatu perkembangan tertentu.
2.       Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3.       Kegiatan belajar mengajar ditandai dengan suatu penggarapan materi yang khusus.
4.       Ditandai dengan aktifitas anak didik. Aktifitas anak didik dalam  hal ini baik secara fisik maupun secara mental, aktif.
5.       Dalam  kegiatan belajar mengajar, guru berperan sebagai pembimbing.
6.       Dalam  kegiatan belajar mengajar membutuhkan disiplin.
7.       Ada batas waktu. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam  sistim berkelas (kelompok anak didik), batas waktu menjadi salah satu ciri yang tidak bisa ditinggalkan.
8.       Evaluasi. Dan seluruh kegiatan di atas, masalah evaluasi merupakan bagian penting yang tidak bisa diabaikan, setelah guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Evaluasi harus guru lakukan untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pengajaran yang telah ditentukan.

C.             Komponen Belajar Mengajar
Sebagai suatu sistem, tentu saja kegiatan belajar mengajar mengandung sejumlah komponen yang meliputi tujuan, bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, metode, alat dan sumber serta evaluasi. Penjelasan  dari setiap komponen tersebut adalah sebagai beirkut :
1.       Tujuan
Tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan suatu kegiatan. Tidak ada suatu kegiatan yang diprogramkan tanpa tujuan, karena hal itu adalah suatu hal yang tidak memiliki kepastian dalam  menentukan ke arah mana kegiatan itu akan dibawa. Akhirnya guru tidak bisa mengabaikan masalah perumusan tujuan apabila ingin memprogramkan pengajaran.

2.       Bahan pelajaran
Bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar. Tanpa bahan pelajaran, proses belajar mengajar tidak akan berjalan. Karena itu, guru yang akan mengajar pasti memiliki dan menguasai bahan pelajaran yang akan disampaikannya pada anak didik. Dengan demikian, bahan pelajaran merupakan komponen yang tidak bisa diabaikan dalam  pengajaran, sebab bahan adalah inti dalam  proses belajar mengajar yang akan disampaikan pada anak didik.

3.       Kegiatan belajar mengajar
Kegiatan belajar mengajar adalah inti kegiatan dalam  pendidikan. Segala sesuatu yang telah diprogramkan akan dilaksanakan dalam  proses belajar mengajar. Dalam  kegiatan belajar mengajar akan melibatkan semua komponen pengajaran, kegiatan belajar mengajar akan menentukan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai.
Dengan demikian, kegiatan belajar mengajar yang bagaimanapun, juga ditentukan dari baik atau tidaknya program pengajaran yang telah dilakukan dan akan berpengaruh terhadap tujuan yang akan dicapai.

4.       Metode
Metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam  kegiatan belajar mengajar, metode diperlukan oleh guru dan penggunaannya bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai setelah pengajaran berakhir. Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak menguasai satu pun metode mengajar yang telah dirumuskan dan dikemukakan para ahli psikologi pendidikan.

5.       Alat
Alat adalah segala sesuatu yang dapat digunakan dalam  rangka mencapai tujuan pengajaran. Sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan dalam  rangka mencapai tujuan pengajaran dan mempunyai fungsi yaitu alat sebagai perlengkapan, alat sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai tujuan dan alat sebagai tujuan.

6.       Sumber pelajaran
Belajar mengajar telah diketahui bukanlah proses dalam  kehampaan, tetapi berproses dalam  kemaknaan. Di dalamnya ada sejumlah nilai yang disampaikan kepada anak didik. Nilai-nilai itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi terambil dari berbagai sumber guna dipakai dalam  proses belajar mengajar. Jadi bahan pelajaran itu diambil dari berbagai sumber.
Yang dimaksud dengan sumber-sumber bahan dan belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang. Dengan demikian, sumber belajar itu merupakan bahan atau materi untuk menambah ilmu pengetahuan yang mengandung hal-hal baru bagi si pelajar. Sebab pada hakikatnya belajar adalah untuk mendapatkan hal-hal baru (perubahan).
Contoh sumber diantaranya:
a.      Manusia (dalam  keluarga, sekolah dan masyarakat);
b.      Buku dan perpustakaan;
c.       Mass media (majalah, surat kabar, radio, tv, internet dan lain-lain);
d.      Dalam  lingkungan;
e.      Alat pelajaran (buku pelajaran, peta, gambar, kaset, papan tulis, kapur, spidol dan lain-lain );
f.       Museum (tempat penyimpanan benda-benda kuno);
g.      Aktifitas (activities) : 1).  Pengajaran berprogram, 2). Simulasi, 3).karyawisata, 4). Sistim pengajaran modul.

7.       Evaluasi
Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu evaluation. Dalam  buku essentials of educational evaluation karangan Edwin Wand dan Gerald W. Brown dikatakan bahwa “Evaluation refer to the act or rocess to determining the value of something”. Jadi menurut Wand dan Brown, evaluasi adalah tindakan adalah suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Sesuai dengan pendapat di atas, maka menurut Wayan Nurkancana dan PPN Sumartana, evaluasi pendidikan dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam  dunia pendidikan atau segala sesuatu yang ada hubungannya dengan dunia pendidikan.
Ketika evaluasi dapat memberikan manfaat bagi guru dan siswa, maka evaluasi mempunyai fungsi sebagai beirkut :
a.      Untuk memberikan umpan balik (fed back) kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar, serta memperbaiki program bagi murid.
b.      Untuk memberikan angka yang tepat tentang kemajuan atau hasil belajar dari setiap murid kepada orang tua, penentuankenaikan kelas, serta penentuan lulus tidaknya seorang murid.
c.       Untuk menentukan murid di dalam  situasi belajar mengajar yang tepat sesuai dengan tingkat kemampuan dan karakteristik lainnya yang dimiliki murid.
d.      Untuk mengenal latar belakang (psikologis, fisik dan lingkungan) murid yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar, yang nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar dalam  pemecahan kesulitan-kesulitan belajar yang timbul.
Adapun komponen-komponen belajar mengajar lainnya meliputi :
a.       Merencanakan yaitu mempelajari masa mendatang dan menyusun rencana  kerja.
b.       Mengorganisasikan yaitu membuat organisasi usaha, manager, tenaga kerja dan bahan.
c.       Mengkoordinasikan yaitu menyatukan dan mengkorelasikan semua kegiatan.
d.       Mengawasi dan memeriksa agar segala sesuatu dikerjakan sesuai peraturan yang digariskan dan instruksi-instruksi yang diberikan.

Makalah Parameter Pragmatik


ABSTRAK


Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi (Leech, 1993: 1). Leech (1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).
Pragmatik sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling tidak dapat diedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, (2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian pertama masih dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa atau disebut ‘fungsi komunikatif’ (Purwo, 1990:2).
Pragmatik ialah berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993: 177). Menurut Levinson (1983: 9), ilmu pragmatik didefinisikan sebagai berikut:
(1)          “Pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa”. Di sini, “pengertian/pemahaman bahasa” menghunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaiannya.
(2)          “Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahsa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu”.
(Nababan, 1987: 2)
Pragmatik juga diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 1993: 177). Menurut Verhaar (1996: 14), pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.
Kata Kunci : Pragmatik, Kesantunan, Parameter




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan keharibaan Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberi karunia berupa kemudahan berpikir sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Parameter Pragmatik sesuai dengan yang diharapakan.
Makalah ini berisi informasi tentang Pragmatik yang dikhususkan untuk membahas Parameter Pragmatik. Tentang pengertian Parameter Pragmatik dan Jenis-Jenis Skala Kesantunan menurut para ahli Parameter Pragmatik.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang Parameter Pragmatik. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Lubuklinggau, 2 Maret 2013

PENULIS


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...................................................................................................
i
ABSTRAK .....................................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................
iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................................
v
BAB I.
PENDAHULUAN .......................................................................................
1

A.
Latar Belakang ......................................................................................
1

B.
Rumusan Masalah .................................................................................
2

C.
Tujuan Penulisan Makalah ...................................................................
2

D.
Manfaat .................................................................................................
3
BAB II.
PEMBAHASAN .........................................................................................
4

A.
Pengertian Parameter Pragmatik ..........................................................
4

B.
Skala Kesantunan .................................................................................
5


1.
Skala Kesantunan Leech ................................................................
5


2.
Skala Kesantunan Brown dan Levinson ........................................
7


3.
Skala Kesantunan Robin Lakoff ....................................................
9

C.
Teori Muka oleh Goffman, Brown, dan Levinson ...............................
10


1.
Muka Positif (Positive Face)..........................................................
12


2.
Muka Negatif (Negative Face).......................................................
13


3.
Pengancaman Muka (Face Treathening Act).................................
15
BAB III.
PENUTUP ...................................................................................................
17

Kesimpulan ..................................................................................................
17
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................
18



BAB I.
PENDAHULUAN


A.           Latar Belakang
Berbahasa adalah aktivitas sosial. Karenanya kegiatan berbahasa baru terwujud bila melibatkan manusia. Menurut Wijana (1996:45), “Di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.”
Allan (dalam Wijana:1996:45) menambahkan bahwa, “Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual.”
Dalam berbicara, tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual. Tetapi seringkali pula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal.
Bila sebagai retorika tekstual, pragmatik membutuhkan prinsip kerjasama (cooperative principle). Dalam komunikasi yang wajar, seorang penutur mengartikulasikan ujaran untuk mengomunikasikan sesuatu kepada lawan bicara dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang disampaikan.
Pertuturan yang wajar terbentuk karena penutur dan lawan tutur melakukan kerjasama. Setiap peserta pertuturan sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.
Lebih tegas lagi, dipaparkan Wijana (1996:46) bahwa ada semacam prinsip kerjasama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan lancar.
Sementara sebagai retorika personal, menurut Wijaya (1996:55), pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan. Prinsip ini, berkaitan dengan diri sendiri dan orang lain. Penutur harus menyusun tuturannya sedemikian rupa agar lawan tuturnya sebagai individu merasa diperlakukan secara santun.
Prinsip kesopanan diterapkan dalam tindak tutur sesuai beberapa indikator. Karenanya, diperlukan strategi pemilihan tingkat kesopanan yang berbeda-beda. Inilah yang disebut dengan parameter pragmatik. Wijana (1996:63) memberikan contoh bahwa dalam memerintah pembantu, tuturan yang dipilih adalah Sapulah lantai ini, meskipun dinilai kurang sopan dibanding Apakah Anda bersedia menyapu lantai ini?
Berdasarkan hal-hal di atas, dalam makalah ini penulis mencoba membahas persoalan yang berkaitan parameter pragmatik.

B.            Rumusan Masalah
1.             Bagaimana Pengertian Parameter Pragmatik?
2.             Bagaimana Skala Kesantunan Menurut Para Ahli?
3.             Bagaimana Teori Muka Menurut Para Ahli?

C.           Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan referensi tentang Parameter Pragmatik bagi penulis maupun pembaca. Dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Pragmatik.


D.           Manfaat
1.             Manfaat Teoritis
          Menambah pengetahuan dan referensi tentang Parameter Pragmatik
2.             Manfaat Bagi Pembaca dan Penulis


BAB II.
PEMBAHASAN


A.      Pangertian Parameter Pragmatik
Semakin panjang bentuk tuturan semakin besar pula keinginan penutur untuk berlaku sopan kepada lawan tuturnya. Hal-hal yang yang mengatur strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda ini disebut parameter pragmatik.
Parameter ialah garis-garis yang menentukan atau menandakan keluasan atau batasan sesuatu, keluasan yang ada batasan-batasannya. Contoh kalau ditinjau secara objektif, parameter kesetiaan seseorang berkisar dalam ruang bulatan yang berlegar dan bertindih; watak-watak didalamnya bertingkah laku secara konkrit dalam lingkungan.
Kesopanan adalah amalan tingkah laku yang mematuhi peraturan-peraturan sosial yang terdapat dalam sesebuah masyarakat. Seseorang yang tidak mematuhi peraturan-peraturan soaial ini dianggap tidak sopan. Perilaku yang menonjolkan ketidaksopanan lebih merujuk kepada perilaku seseorang yang ditonjolkan secara personal yang boleh menimbulkan suasana konflik dan ketegangan yang lebih besar. Dengan kata lain setiap orang harus bertindak dengan penuh kesopanan antara satu dengan lainnya berdasarkan norma kesopanan dalam sesebuah masyarakat.
Parameter pragmatik harus diamati secara cermat agar lawan tutur tidak merasa kehilangan muka (face).  Menurut Goffman (Wardaugh, 1986, 284; Allan, 1986, 10) dalam percakapan yang kooperatif para peserta percakapan menerima ‘muka’ yang ditawarkan oleh lawan bicaranya. Adapun yang dimaksud dengan ‘muka’ dalam hal ini adalah citra diri yang harus diperhatikan oleh lawan tutur. ‘Muka’ yang ditawarkan itu berbeda-beda bergantung pada situasi pembicaraan. Muka yang ditawarkan penutur memiliki dua kemungkinan, yakni muka positif dan muka negatif. Muka positif terwujud bila ide-ide, atribut, milik, prestasi, tujuan, dan sebagainya. Yang dimiliki oleh seseorang dihargai oleh lawan tuturnya. Muka negatif adalah keinginan seseorang untuk tidak diserang, diejek, atau dihinakan oleh lawan tuturnya. Dalam konteks pemakaian bahasa dua aspek ini dapat menimbulkan sesuatu yang tidak mengenakkan bila pemuasan salah satu aspek mengandung pelanggaran terhadap yang lain.

B.      Skala Kesantunan
     Terdapat tiga skala pengukur peringkat kesantunan berbahasa yang sampai kini masih banyak digunakan sebagai dasar acuan penelitian kesantunan berbahasa dengan kerangka linguistik pragmatik. Skala kesantuan tersebut adalah:
1.       Skala Kesantunan Leech
Dalam model kesantunan Geoffrey N. Leech (1993), dijelaskan bahwa setiap maksim interpersonal di dalam kerangka pragmatik dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan dari sebuah tuturan.
a.       Cost-benefit scale atau skala kerugian-keuntungan. Skala kesantutan berbahasa ini menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur di dalam peristiwa pertuturan tertentu. Semakin dampak dari sebuah tuturan tersebut merugikan bagi diri si penuturnya sendiri, maka cenderung akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan tersebut menguntungkan bagi diri penuturnya sendiri dan merugikan bagi sang mitra tuturnya, akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu.
b.      Optionality scale atau skala pilihan. Skala kesantunan ini menunjuk kepada banyak atau sedikitnya alternative pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur dalam praktik bertutur yang sebenarnya. Semakin pertuturan memungkinkan si penutur atau mitra tutur itu menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan semakin dianggap santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan untuk menentukan pilihan bagi penutur dan mitra tutur,  tuturan tersebut akan dianggap sangat tidak santun.
c.       Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan. Skala kesantunan berbahasa ini menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud dari sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung,  to the point, apa adanya, tidak berbelit-belit, tidak banyak basa-basi, akan cenderung dianggap semakin tidak santunlah tuturan yang demikian itu. Demikian juga sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, semakin banyak sasmita, sanepo, samudana dan isyarat yang dikandung di dalamnya, akan dianggap semakin santunlah tuturan tersebut.
d.      Authority scale atau skala keotoritasan atau skala kekuasaan. Skala kesantunan berbahasa ini menunjuk kepada hubungan status sosial antara si penutur dan si mitra tutur yang terlibat di dalam proses pertuturan tertentu. Ditegaskan dalam skala kesantunan berbahasa ini, bahwa semakin jauh distansi atau jarak peringkat sosial (rank rating) antara si penutur dengan si mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin sopan dan kian santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial diantara kedua belah pihak tersebut dalam bertutur, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan itu dalam keseluruhan aktivitas bertutur itu.
e.       Social distance scale atau skala jarak sosial. Skala kesantunan ini menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara si penutur dan mitra tutur yang terlibat di dalam pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial diantara keduanya, akan menjadi semakin berkurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan orang-orang yang belum benar-benar dekat dan akrab, orang sudah sangat sering menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang cenderung informal dan cenderung akrab. Maka lalu yang muncul adalah tuturan-tuturan yang dipandang tidak sopan dan kurang santun, penuturnya juga akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun sama sekali.

2.       Skala Kesantunan Brown Dan Levinson
Model kesantunan berbahasa dari Brown dan Levinson (1987) terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan berbahasa yang muncul di dalam sebuah pertuturan sebenarnya. Ketiga skala tersebut adalah :
a.       Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer) skala ini banyak ditentukan oleh parameter perbedaan di dalam hal umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural seseorang. Berkenaan dengan perbedaan umur antara si penutur dan mitra tutur itu, lazimnya didapatkan kenyataan bahwa semakin tua umur seseorang peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan menjadi semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya. Orang yang berjenis kelamin wanita, lazimnya juga memiliki peringkat kesantunan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria atau laki-laki. Latar belakang sosiokultural seseorang memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan peringkat kesantunan yang dimilikinya. Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang.
b.      Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) atau sering kali disebut juga dengan peringkat kekuatan atau kekuasaan (power rating). Skala pengukuran kesantunan ini didasarkan pada kedudukan asimetrik antara si penutur dan si mitra tutur.
c.       Skala peringkat tindak tutur atau tindak ujar, atau sering pula disebut dengan rank rating. Skala kesantunan berbahasa itu lengkapnya berbunyi, the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or services didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya di dalam sebuah praktik pertuturan yang sesungguhnya. Sebagai contohnya, di dalam situasi yang sangat khusus, bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar, akan dikatakan sebagai orang yang tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat tutur tertentu. Namun demikian, hal yang sesungguhnya persis sama akan dapat dianggap sangat wajar terjadi di dalam situasi yang tidak sama. Misalnya saja, pada saat di suatu kota terjadi kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung dan kompleks perumahan, bisa saja orang berada di rumah orang lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan, dia tetap akan dianggap sopan, bahkan ketika dia menjerit-jerit karena ketakutan sekalipun.
3.       Skala Kesantunan Robin Lakoff
Robin Lakoff (1973) menyatakan adanya tiga ketentuan pokok untuk dapat dipenuhinya skala kesantuan di dalam kegiatan bertutur di dalam masyarakat. Ketiga ketentuan itu secara berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut : (1) skala formalitas (formality scale), (2) skala ketidaktegasan (besitancy scale), dan (3) skala kesamaan atau kesekawanan (equality scale). Berikut uraian dari setiap skala kesantunan tersebut satu demi satu.
a.       Skala formalitas (formality scale), dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa benar-benar nyaman dan sungguh kerasan di dalam keseluruhan proses kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh atau congkak terhadap pihak lainnya. Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan mampu menjaga jarak yang sewajarnya dan senatural-naturalnya antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Tanpa memperhatikan hal tersebut, tuturan yang muncul dipastikan tidak akan memenuhi standar kesantunan berbahasa yang berlaku di dalam masyarakat tuturnya.
b.      Skala kesantunan Robin Lakoff yang kedua, yakni skala ketidaktegasan atau keraguan (besitancy scale) atau sering kali disebut juga dengan pilihan (optionality scale), menunjukan bahwa agar si penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dan tetap kerasan di dalam aktivitas bertutur sapa, pilihan-pilihan dalam bertutur itu harus selalu diberikan oleh kedua belah pihak secara benar-benar memadai dan proporsional. Dalam hal ini, orang tidak diperbolehkan untuk bersikap terlalu tegang dan teramat kaku di dalam aktivitas bertutur yang sesungguhnya, karena akan dianggap sebagai orang yang tidak santun di dalam masyarakat bahasanya.
c.       Skala kesantunan dari Robin Lakoff yang ketiga, yakni peringkat kesekawanan atau kesamaan, menunjukan bahwa agar dapat berciri sopan santun, orang harus senantiasa ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Agar dapat tercapai maksud yang demikian itu, penutur harus dapat menganggap sang mitra tutur benar-benar sebagai teman atau sahabat bagi dirinya. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi dirinya. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi piak lainnya, rasa kesekawanan, rasa solider, dan rasa kesejajaran sebagai salah satu prasyarat hadirnya kesopanan atau kesantunan akan dapat tercapai dengan benar-benar baik. Sayang bahwa yang umumnya terjadi pada masyarakat, rasa kesejajaran atau kesederajadan ini telah banyak melemah atau bahkan meluntur. Denga begitu pula, kesantunan yang ada di dalam masyarakat itu juga semakin rendah peringkat atau kadarnya. Inilah keprihatinan, yang barangkali perlu segera, mendapat tanggapan dari setiap warga masyarakat Indonesia, agar kita-kita ini tidak tercerabut dari budaya kita sendiri.

C.      Teori Muka oleh Goffman, Brown, dan Levinson
Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967), bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “Muka” atau “muka,” baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. “Muka,” dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik, namun “Muka” dalam artian public image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam pandangan masyarakat.
Konsep Muka ini berakar dari konsep tradisional di Cina, yang dikembangkan oleh Konfusiusterkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada Muka, dalam tradisi Cina, melekat atribut sosial yang merupakan harga diri, sebuah penghargaan yang diberikan oleh masyarakat, atau dimiliki secara individu. Muka, merupakan “pinjaman masyarakat,” sebagaimana sebuah gelar akademik yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi, yang kapan saja bisa ditarik oleh yang memberi. Oleh karena itu, si pemilik Muka itu haruslah berhati-hati dalam berprilaku, termasuk dalam berbahasa.
Jika Goffman (1967) menyebutkan bahwa Muka adalah atribut sosial, maka Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa Muka merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, Muka kemudian dipilah menjadi dua jenis: Muka dengan keinginan positif (positive face), dan Muka dengan keinginan negatif (negative face). Muka positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan. Sementara itu, Muka negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa Muka memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai Muka itu.
Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa (atau berprilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Konsep Muka di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa mungkin berakibat santun, artinya, sopan berbahasa akan memelihara Muka jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh (misalnya antara dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah). Meskipun demikian, bersikap santun dalam berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika penutur dan mitra tutur tidak memiliki jarak sosial yang jauh (teman sekerja, konco, pacar, dan sebagainya). Untuk lebih memahami konsep Muka ini, berikut akan saya suguhkan contoh-contoh, baik Muka positif maupun negatif, dalam konsep kesantunan berbahasa.
1.       Muka Positif (Positive Face)
Sebagaimana telah disebutkan bahwa Muka positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara penutur dan mitra tutur. Perhatikan contoh percakapan dua orang sopir angkot berikut ini (mohon maaf jika contoh ini mengandung kata-kata kasar):
Sopir A: Mus, ngana so dapa kabar mengenai ngana pe STNK yang polisi tahan tuh? (Mus, apakah kamu sudah mendapatkan kabar mengenai STNK kamu yang ditahan polisi itu?)
Sopir B: E… pamabo, sejak kapan ngana faduli kita pe hal? Bolong ini, tara tau dong so bakar ka apa itu… (eh.. pemabuk, sejak kapan kamu peduli persoalanku? Belum nih, tidak tahu mungkin mereka sudah bakar…)
Sopir A: Ce me itu lucur kasana doi barang 150 la dorang urus sudah… (Ah… kasih saja uang 150 biar mereka urus secepatnya…)
Sopir B: Ya astaga… ngana kira polisi itu ngana pe papa mantu? Kita so coba tapi dorang tara mau. (Astaga, kamu pikir polisi itu mertua kamu? Sudah aku coba, tapi mereka tidak mau).
Sejenak jika dilihat, percakapan singkat antara dua sopir angkot ini terkesan kasar, tidak sopan. Mungkin sebagian berpendapat bahwa wajar mereka berkomunikasi seperti ini, dengan alasan bahwa mereka adalah teman dekat, dan mungkin berpendidikan rendah. Tidak ada yang salah dengan pendapat-pendapat ini. Dari aspek kesopanan, cara mereka berkomunikasi memang ganjil; tetapi dari aspek kesantunan, melalui konsep Muka positif, cara berkomunikasi ini adalah untuk memelihara Muka masing-masing.
Tuturan sopir B memiliki muatan positif agar jarak keakraban antara mereka (sopir A dan sopir B) terjaga. Tuturan sopir B, dengan mengatakan “pemabuk” adalah untuk menunjukan kedekatan jarak sosial, rasa kekoncoan (camaraderie), sehingga secara psikologis tidak ada jarak pula. Kedekatan jarak sosial yang direfleksi oleh penggunaan bahasa semacam di atas memiliki nilai Muka positif. Seandainya sopir B merespon pertanyaan sopir A dengan irama sopan semacam “belum ada kabar pak…” maka tentu saja jarak sosial antara mereka menjadi renggang, dan Muka mereka terancam.
Maksud dari mengancam Muka (face threatening) adalah mengancam jatidiri sebagai sahabat dekat, konco, dan sebagainya. Isu sentral dari mengancam Muka adalah kerenggangan jarak sosial yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa yang relatif tidak santun, atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konsep Muka positif. Mengenai pengancaman Muka (face threatening act) ini akan diulas kemudian.

2.       Muka Negatif (Negative Face)
Berbeda dengan Muka positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan terjaganya nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka Muka negatif ini dimana penutur dan mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Perhatikan contoh percakapan antara dua orang penumpang angkot yang tidak saling kenal antara satu sama lain di bawah ini:
Penumpang A: Maaf e, tanya sadiki, Sasa tu masih jao ka? (maaf yah, numpang tanya, apakah Sasa masih jauh dari sini?)
Penumpang B: Wadoh mas, ini skarang so sampe di Kastela. Memangnya mas mo turun dimana kong? (Wah mas, ini sekarang sudah sampai di Kastela. Memangnya mas mau turun dimana?)
Penumpang A: Saya tadi bilang di sopir turun di Sasa, maaf nih, jadi Sasa masih jao ka? (Saya tadi bilang ke sopir kalau saya mau turun di Sasa, maaf, jadi apakah Sasa masih jauh?)
Penumpang B: Bukannya masih jao mas, tapi so lewat jao. Mangkali lebe bae mas turun disini saja, nanti baru nae oto dari bawa saja, nanti bilang turun di Sasa. (Bukannya masih jauh mas, tapi sudah kelewat jauh. Mungkin lebih baik mas turun disini saja, nanti naik angkot lagi dari selatan, nanti bilang turun di Sasa).
Penumpang A: Wah, tarima kasih e? (waduh, terima kasih yah?)
Penumpang B: Sama-sama mas (terima kasih kembali mas).
Sangat terlihat jelas bahwa kedua partisipan (penutur dan mitra tutur) dalam percakapan ini menunjukkan ketidakakraban, atau keformalan. Ini bisa dilihat dari penggunaan kata “maaf” yang diulang sebanyak dua kali oleh penumpang A. Penggunaan dan pengulangan penggunaan kata “maaf” oleh penumpang A ini untuk menjaga Muka negatif penumpang B. Artinya, penumpang A tidak ingin terkesan akrab dan sesuka hati, dan tidak ingin mengganggu wilayah individu penumpang B.
Demikian pula dengan penggunaan kata “mas” yang berulang-ulang oleh penumpang B, yang merupakan sapaan sopan untuk penumpang A yang dicurigai sebagai pendatang, bukan masyarakat asli. Dengan menggunakan dan mengulang kata “mas”, penumpang B berusaha untuk menunjukkan bahwa dia menghargai jatidiri penumpang A sebagai individu yang dihargai atribut individualnya, termasuk sebagai pendatang dan bukan masyarakat asli.
Melalui dua contoh yang menjelaskan dua konsep Muka di atas, jelaslah bahwa dalam berbahasa, kita harus senantiasa mempertimbangkan jarak sosial antara kita dan mitra tutur. Kesantunan berbahasa bukan terletak pada diksi, melainkan terletak pada tingkat keakraban atau jarak sosial, termasuk usia, gender, strata sosial, dan strata akademik.

3.       Pengancaman Muka (Face Threatening Act)
Sebagaimana telah dijelaskan dengan berbagai contoh, kesantunan (dan kesopanan) berbahasa dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap Muka orang lain (Yule, 2006:104). Muka seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri (hal.106).
Pengancaman Muka melalui tindak tutur (speech act) akan terjadi jikalau penutur dan mitra tutur sama-sama tidak berbahasa sesuai dengan jarak sosial. Perhatikan contoh berikut ini, dimana terjadi interaksi antara tetangga yang berusia sudah tua dan yang masih muda:
Tua: He… so malam deng apa kong baribut sampe, tarada rumah ka? (Heh… ini kan sudah malam, kok ribut banget? Tidak ada rumah ya?)
Muda: Saya, om. Maaf lagi… (Saya, om. Kami minta maaf).
Dalam konteks interaksi seperti di atas, penutur tua melakukan pengancaman Muka dengan mengatakan “tidak ada rumah ya?” ini disebut pengancaman Muka karena jarak sosial (usia dan mungkin juga jarak keakraban) antara mereka jauh. Bahkan, hal ini bukan hanya mengancam Muka mitra tutur muda, bahkan Muka penutur tua itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya “harga diri” sosial dengan menggunakan pernyataan yang kasar.
Respon dari mitra tutur muda merupakan tindak penyelamatan Muka (face saving act); yaitu dengan cara melakukan kesantunan negatif dengan mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan kesadaran atas jarak sosial dan Muka negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur muda menyadari keinginan Muka penutur tua untuk merdeka dan memiliki hak untuk tidak terganggu.
Pengancaman terhadap Muka ini juga bersifat positif dan juga negatif.  Jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman Muka bersifat negatif. Sementara itu, jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh, maka pengancaman Muka bersifat positif.
Intinya, Muka positif adalah keinginan partisipan untuk diterima oleh mitra tutur sebagaimana kedekatan sosial antara mereka; Muka negatif adalah keinginan untuk bebas dari interfensi, tekanan, atau gangguan dari pihak lain, termasuk mitra tutur. Jika keinginan Muka positif tidak tercapai dalam bertutur, maka ancamannya pada Muka positif. Dan jika keinginan Muka negatif tidak tercapai, maka ancamannya pada Muka negatif. Konsekuensi logis dari ancaman Muka ini adalah kehilangan Muka (loosing face), atau dengan istilah sederhana adalah malu atau hilang harga diri.




BAB III.
PENUTUP

Kesimpulan
Parameter Pragmatik (Kesantunan) merupakan hal-hal yang yang mengatur strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda. Dalam parameter pragmatik terdapat skala-skala kesantunan, antara lain :
1.             Skala Kesantunan Leech
a.              Skala kerugian-keuntungan
b.             Skala Pilihan
c.              Skala Ketidaklangsungan
d.             Skala Keotoritasan
e.              Skala Jarak Sosial
2.             Skala Kesantunan Brown dan Levinson
a.              Skala Peringkat Jarak Sosial
b.             Skala Peringkat Status Sosial
c.              Skala Peringkat Tindak Tutur
3.             Skala Kesantunan Robin Lakoff
a.              Skala Formalitas
b.             Skala Ketidaktegasan
c.              Skala Peringkat Tindak Tutur
Dalam parameter pragmatik juga terdapat teori Muka yaitu antara lain : Muka Positif, Muka Negatif, dan Pengancaman Muka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa parameter pragmatik memberikan batasan tentang kesantunan berbahasa, apakah bahasa itu santun atau tidak.


DAFTAR PUSTAKA


Alwi, Hasan, dkk. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan III edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.
Aziz, E. A. (2000). Refusing in Indonesian: Strategies and Politeness Implications. Disertasi, Australia: Monash University.
Aziz, E. A. (2008). Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang Terserak, Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Indonesia: Universitas Pendidikan Indonesia.
Brown, P & S.C. Levinson. (1987). Universals in Language Usage: Politeness Phenomena. In
E.N. Goody (ed). Questions and Politeness: Strategies in social interaction, 56-289. Cambridge: Cambridge University Press.
Grice, HP. 1975. “Logic and Conversation”. Syntac and Semantics, Speech Act 3. New York: Academnic Press.
Goffman, E. (1967). Interaction Ritual. Garden City, NY: Doubleday.
Http://citraindonesiaku.blogspot.com/2012/02/parameter-pragmatik.html
Http://zainurrahmans.wordpress.com/2011/02/27/teori-kesantunan-berbahasa/
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik: Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media.
Thomas, J. (1995). Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics. London: Longman.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
Yule, G. (2008). Pragmatik. Indonesia: Pustaka Pelajar.